Lokasi
Kompleks Candi Cetho terletak di lereng barat Gunung Lawu, tepatnya di Desa Cetho, Kel. Gumeng, Kec. Jenawi, Kab. Karanganyar Jawa Tengah dan berjarak 10 km arah timur laut dari Candi Sukuh.
Kompleks candi ini memanjang ke belakang dengan panjang 190 m dan lebar 30 m, berada pada ketinggian 1496 m dari permukaan laut. Kompleks Candi Cetho memiliki 13 teras yang disusun meninggi ke arah puncak dan menghadap ke barat. Masing-masing teras memiliki halaman yang dilingkungi oleh tembok dan tangga menuju teras di belakangnya. Pada kondisi aslinya hampir tiap-tiap teras memiliki arca dan bangunan terbuka seperti pendopo dengan kerangka kayu.
Sisa-sisa peninggalan yang masih asli dan utuh hanya yang berada pada teras ke VII yang juga merupakan teras paling penting karena waktu pendirian candi latar belakang keagamaan ditampilkan di sini.
Latar belakang agama Candi Cetho adalah Hindu berdasarkan arca-arca dari cerita Samudramanthana dan Garudeya yang diambil dari mitos-mitos Hindu.
Samudramanthana menceritakan tentang taruhan antara kedua istri Kasyapa yaitu Kadru dan Winata pada pengadukan lautan susu untuk mencari air kehidupan (amerta). Dikisahkan bahwa Gunung Mandara dipakai sebagai pengaduknya. Sedangkan Dewa Wishnu berubah menjadi kura-kura sebagai penopang Gunung Mandara. Kadru menebak bahwa ekor kuda pembawa air amerta (Uchaiswara) yang akan keluar dari lautan susu berwarna hitam. Sedangkan Winata menebak ekor kuda itu berwarna putih.
Ahirnya kuda yang membawa air amerta kaluar dari lautan susu dan ekornya berwarna putih. Tetapi anak-anakk Kadru yang berwujud ular menyembur dengan bisanya sehingga warnanya menjadi hitam. Meskipun curang, Winata dianggap kalah dan Winata dijadikan budak oleh Kadru.
Kompleks candi ini memanjang ke belakang dengan panjang 190 m dan lebar 30 m, berada pada ketinggian 1496 m dari permukaan laut. Kompleks Candi Cetho memiliki 13 teras yang disusun meninggi ke arah puncak dan menghadap ke barat. Masing-masing teras memiliki halaman yang dilingkungi oleh tembok dan tangga menuju teras di belakangnya. Pada kondisi aslinya hampir tiap-tiap teras memiliki arca dan bangunan terbuka seperti pendopo dengan kerangka kayu.
Sisa-sisa peninggalan yang masih asli dan utuh hanya yang berada pada teras ke VII yang juga merupakan teras paling penting karena waktu pendirian candi latar belakang keagamaan ditampilkan di sini.
History
Latar belakang agama Candi Cetho adalah Hindu berdasarkan arca-arca dari cerita Samudramanthana dan Garudeya yang diambil dari mitos-mitos Hindu.
Samudramanthana menceritakan tentang taruhan antara kedua istri Kasyapa yaitu Kadru dan Winata pada pengadukan lautan susu untuk mencari air kehidupan (amerta). Dikisahkan bahwa Gunung Mandara dipakai sebagai pengaduknya. Sedangkan Dewa Wishnu berubah menjadi kura-kura sebagai penopang Gunung Mandara. Kadru menebak bahwa ekor kuda pembawa air amerta (Uchaiswara) yang akan keluar dari lautan susu berwarna hitam. Sedangkan Winata menebak ekor kuda itu berwarna putih.
Ahirnya kuda yang membawa air amerta kaluar dari lautan susu dan ekornya berwarna putih. Tetapi anak-anakk Kadru yang berwujud ular menyembur dengan bisanya sehingga warnanya menjadi hitam. Meskipun curang, Winata dianggap kalah dan Winata dijadikan budak oleh Kadru.
Selanjutnya diteruskan dengan cerita Garudeya yang berisi pembebasan Winata oleh anak-anaknya, Garuda. Ia menemui para ular untuk minta ibunya dibebaskan dari budak Kadru. Mereka setuju asal garuda dapat menukarnya dengan air amerta. Garuda pergi ke tempat penyimpanan air amerta dan mencurinya dari penjagaan para dewa selanjutnya air amerta tersebut diserahkan kepada ular dan Winata dibebaskan dari perbudakan Kadru.
Fungsi
Melalui simbol-simbol dan mitologi yang ditampilkan oleh arca-arcanya, fungsi candi ini dapat dijelaskan sebaai tempat peruwatan atau tempat untuk membebaskan orang dari kutukan karena kesalahan-kesalahannya. Setelah diruwat orang akan kembali menjadi suci seperti baru dilahirkan.
Arca Garuda dan Kura-kura dimaksudkan untuk menjelaskan cerita Samudramanthana dan Garudeya yang mengisahkan tentang kutukan dan pembebasannya. Kemudian arca phallus dan vagina dapat ditafsirkan sebagai lambang penciptaan atau dalam hal ini adalah kelahiran kambali setelah di bebaskan dari kutukan. (Sumber : Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah)
Arca Garuda dan Kura-kura dimaksudkan untuk menjelaskan cerita Samudramanthana dan Garudeya yang mengisahkan tentang kutukan dan pembebasannya. Kemudian arca phallus dan vagina dapat ditafsirkan sebagai lambang penciptaan atau dalam hal ini adalah kelahiran kambali setelah di bebaskan dari kutukan. (Sumber : Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah)
Sorry gambar terakhir itu NGACO...hehehe...Gambar lain ada disini
2 komentar disini:
jan apik tenan lho kuwi candine mbok nek mrono maneh diajak to
weits...pengen juga nih...iya ntar kalo anak2 meh ksanan tak kabari...tapi wajib bawa kamera lho...
Posting Komentar